Rabu, 11 November 2015

PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI DAN PERUSAHAAN, HUBUNGAN BUDAYA DAN ETIKA, KENDALA DALAM MEWUJUDLAN BISNIS ETIS

A.    KARAKTERISTIK BUDAYA ORGANISASI
            Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya organisasi.
a.       Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
b.      Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
c.       Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
d.      Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
e.       Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu.
f.       Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
g.      Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

B.     FUNGSI BUDAYA ORGANISASI
Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya.
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1.      Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2.      Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3.      Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
4.      Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
5.      Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

C.    PEDOMAN TINGKAH LAKU
Tingkah laku merujuk kepada tindakan atau tindak balas sesuatu objek atau organisma, biasanya sehubungan dengan persekitarannya. Ia bersifat:
-          sedar atau separa sedar;
-          nyata atau terselindung;
-          rela atau tidak;
-          sejadi atau dipelajari.
Tingkah laku haiwan dikawal oleh sistem endokrin dan sistem saraf, dengan kerumitannya bergantung kepada kekompleksan sistem sarafnya. Umumnya, organisma yang mempunyai sistem saraf yang kompleks lebih berupaya mempelajari gerak balas yang baharu dan justera, dapat menyesuaikan tingkah lakunya.

Dalam bidang psikologi
Tingkah laku manusia (dan organisma yang lain serta juga mekanisme) dapat bersifat biasa, luar biasa, boleh diterima, atau tidak boleh diterima. Manusia menilai kebolehterimaan sesuatu tingkah laku berdasarkan norma sosial untuk mengawalnya menerusi kawalan sosial. Dalam bidang sosiologi, tingkah laku dianggap sebagai tidak bermakna kerana ia tidak ditujukan kepada orang lain dan justera, merupakan tindakan manusia yang paling asas. Bagaimanapun, ia masih dapat memainkan peranan dalam diagnosis gangguan seperti autisme.
Tingkah laku menjadi satu binaan yang penting dalam bidang psikologi awal abad ke-20 dengan pengenalan paradigma yang kemudian dikenali sebagai behavorisme. Pengenalannya merupakan suatu tindak balas terhadap apa yang dikenali sebagai psikologi "fakulti". Psikologi "fakulti" bertujuan untuk menganalisis atau memahami minda tanpa dimanfaatkan oleh pengujian saintifik. Sebaliknya, behavorisme hanya menegaskan apa yang dapat dilihat atau dimanipulasikan. Mengikut pandangan awal John B. Watson, salah satu pengasas bidang ini, tiada sebarang yang disimpulkan terhadap sifat entiti yang menghasilkan tingkah laku tersebut. Pengubahsuaian yang kemudian terhadap sudut pandangan Watson dan apa yang dikenali sebagai "pelaziman klasik" (lihat Ivan Pavlov) memunculkan pelaziman operan, satu teori yang disokong oleh B.F. Skinner yang mengambil alih institusi akademiknya sehingga 1950-an. Pada hari ini, banyak orang nama mensinonimkan nama Skinner dengan behavorisme.
Untuk kajian tentang tingkah laku, etogram dipergunakan. Tingkah laku haiwan dikaji dalam bidang psikologi perbandingan, etologi, ekologi tingkah laku, dan sosiobiologi.

Di luar bidang psikologi
Tingkah laku di luar bidang psikologi termasuklah sifat fizik dan tindak balas kimia. Sebagaimana digunakan dalam bidang sains komputer, ia merupakan satu binaan antropomorfik yang memberikan "nyawa" kepada kegiatan yang dilakukan oleh komputer, penggunaan komputer, atau kod komputer sebagai balasan terhadap rangsangan seperti input pengguna. "Tingkah laku" juga merupakan satu blok kod atau skrip komputer boleh guna semula yang apabila digunakan pada sesuatu objek, khususnya objek grafik, menyebabkan objek itu membalas terhadap input pengguna dalam pola yang bererti atau untuk membenarkan objek itu bertindak secara bebas. Istilah "tingkah laku" juga boleh digunakan pada setakatnya untuk fungsi matematik bagi merujuk kepada anatomi keluk.
Dalam bidang pemodelan alam sekitar pula dan khususnya dalam bidang hidrologi, model tingkah laku ialah model yang cukup mirip dengan proses semula jadi tercerap, misalnya model yang dapat menyelakukan kadar alir sungai tercerap dengan memuaskan. Ia merupakan konsep utama untuk apa yang dipanggil sebagai perkaedahan Penganggaran Ketakpastian Kebolehjadian Teritlak (GLUE) untuk menyatakan ketakpastian ramalan persekitaran secara kuantitatif.

D.    APRESIASI BUDAYA
Istilah  apresiasi  berasal  dari bahasa inggris  "apresiation" yang berarti penghargaan,penilaian,pengertian. Bentuk itu berasal dari kata kerja " ti appreciate" yang berarti menghargai, menilai,mengerti dalam bahasa indonesia menjadi mengapresiasi. Apresiasi budaya adalah kesanggupan untuk menerima dan memberikan penghargaan, penilaian, pengertian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kebudayaan perlu diapresiasi dengan harapan kita sebagai manusia dapat memperlihatkan rasa menghargai karya yang dihasilkan dari akal dan budi manusia. Apresiasi diperlukan untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang ada agar tetap hidup dan selalu lestari, juga dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Melalui apresiasi, seorang pencipta dapat memperoleh masukan, ide, saran, kritik, dan pujian untuk karyanya. Melalui ide, saran, masukan, dan kritik tersebut jugalah para pencipta diharapkan dapan membuat karya yang lebih baik lagi.

E.     Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan
Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan : Meta-ethical cultural relativism merupakan cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita karena setiap komunitas sosial mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap kebenaran etika.
Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid (membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan “All moral principles derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.

F.     Pengaruh Etika Terhadap Budaya
            Budaya organisasi banyak digunakan pada organisasi perusahaan, bahkan ada juga perusahaan membuat papan nama dengan tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka di tempat-tempat yang menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor, atau di dekat tempat para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi mulai berkembang  sejak awal tahun 1980-an. Konsep budaya organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin ilmu antropologi, Sobirin (2007:128-129).
            Budaya organisasi menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
            Budaya organisasi sangatlah  penting untuk dipahami karena “budaya organisasi dapat mempengaruhi cara orang dalam berprilaku dan harus menjadi patokan dalam setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu budaya itu dapat dikelola oleh organisasi,” Muhammad Baitul Alim (psikologi zone.com).
            Budaya perusahaan pada dasarnya mewakili norma – norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi, termasuk mereka yang berada dalam hierarki organisasi. Bagi organisasi yang masih didominasi oleh pendiri, maka budayanya akan menjadi wahana untuk mengkomunikasikan harapan - harapan pendiri kepada para pekerja lainnya. Demikian pula jika perusahaan dikelola oleh seorang manajer senior otokratis yang menerapkan gaya kepemimpinan top down. Disini budaya juga akanberperan untuk mengkomunikasikan harapan – harapan manajer senior itu.
            Isu dan kekuatan suatu budaya memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Budaya sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar dan etika tinggi adalah budaya yang tinggi toleransinya terhadap risiko tinggi, sedang, sampai rendah dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain itu juga hasil.
Manajemen dapat melakukan beberapa hal dalam menciptakan budaya yang lebih etis, yaitu:
-          Model peran yang visibel Karyawan akan melihat sikap dan perilaku manajemen puncak (Top Manajemen) sebagai acuan / landasan standar untuk menentukan perilaku dan tidakan - tindakan yang semestinya diambil.
-          Komunikasi harapan etis Ambiguitas etika dapat diminimalisir dengan menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik organisasi.
-          Pelatihan etis Pelatihan etis digunakan untuk memperkuat standar, tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.

G.    KENDALA MEWUJUDKAN KINERJA BISNIS
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1.      Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.
2.      Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.
3.      Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil.
Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan elit politik guna keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4.      Lemahnya penegakan hukum.
Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5.  Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis dan manajemen.

Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara khusus menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar