A.
KARAKTERISTIK
BUDAYA ORGANISASI
Penelitian menunjukkan bahwa ada
tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya
organisasi.
a. Inovasi
dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap
inovatif dan berani mengambil risiko.
b. Perhatian
pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi,
analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
c. Orientasi
hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik
dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
d. Orientasi
orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari
hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
e. Orientasi
tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada
indvidu-individu.
f. Keagresifan.
Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
g. Stabilitas.
Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo
dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
B.
FUNGSI
BUDAYA ORGANISASI
Budaya
organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah
sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya.
Menurut
Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1. Budaya
menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2. Budaya
membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya
mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan diri individual seseorang.
4. Budaya
merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan
memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
5. Budaya
sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku karyawan.
C.
PEDOMAN
TINGKAH LAKU
Tingkah
laku merujuk kepada tindakan atau tindak balas sesuatu objek atau organisma,
biasanya sehubungan dengan persekitarannya. Ia bersifat:
-
sedar atau separa sedar;
-
nyata atau terselindung;
-
rela atau tidak;
-
sejadi atau dipelajari.
Tingkah
laku haiwan dikawal oleh sistem endokrin dan sistem saraf, dengan kerumitannya
bergantung kepada kekompleksan sistem sarafnya. Umumnya, organisma yang
mempunyai sistem saraf yang kompleks lebih berupaya mempelajari gerak balas
yang baharu dan justera, dapat menyesuaikan tingkah lakunya.
Dalam bidang psikologi
Tingkah
laku manusia (dan organisma yang lain serta juga mekanisme) dapat bersifat
biasa, luar biasa, boleh diterima, atau tidak boleh diterima. Manusia menilai
kebolehterimaan sesuatu tingkah laku berdasarkan norma sosial untuk mengawalnya
menerusi kawalan sosial. Dalam bidang sosiologi, tingkah laku dianggap sebagai
tidak bermakna kerana ia tidak ditujukan kepada orang lain dan justera,
merupakan tindakan manusia yang paling asas. Bagaimanapun, ia masih dapat
memainkan peranan dalam diagnosis gangguan seperti autisme.
Tingkah
laku menjadi satu binaan yang penting dalam bidang psikologi awal abad ke-20
dengan pengenalan paradigma yang kemudian dikenali sebagai behavorisme.
Pengenalannya merupakan suatu tindak balas terhadap apa yang dikenali sebagai
psikologi "fakulti". Psikologi "fakulti" bertujuan untuk
menganalisis atau memahami minda tanpa dimanfaatkan oleh pengujian saintifik.
Sebaliknya, behavorisme hanya menegaskan apa yang dapat dilihat atau
dimanipulasikan. Mengikut pandangan awal John B. Watson, salah satu pengasas
bidang ini, tiada sebarang yang disimpulkan terhadap sifat entiti yang
menghasilkan tingkah laku tersebut. Pengubahsuaian yang kemudian terhadap sudut
pandangan Watson dan apa yang dikenali sebagai "pelaziman klasik"
(lihat Ivan Pavlov) memunculkan pelaziman operan, satu teori yang disokong oleh
B.F. Skinner yang mengambil alih institusi akademiknya sehingga 1950-an. Pada
hari ini, banyak orang nama mensinonimkan nama Skinner dengan behavorisme.
Untuk
kajian tentang tingkah laku, etogram dipergunakan. Tingkah laku haiwan dikaji
dalam bidang psikologi perbandingan, etologi, ekologi tingkah laku, dan
sosiobiologi.
Di luar bidang psikologi
Tingkah
laku di luar bidang psikologi termasuklah sifat fizik dan tindak balas kimia.
Sebagaimana digunakan dalam bidang sains komputer, ia merupakan satu binaan
antropomorfik yang memberikan "nyawa" kepada kegiatan yang dilakukan
oleh komputer, penggunaan komputer, atau kod komputer sebagai balasan terhadap
rangsangan seperti input pengguna. "Tingkah laku" juga merupakan satu
blok kod atau skrip komputer boleh guna semula yang apabila digunakan pada
sesuatu objek, khususnya objek grafik, menyebabkan objek itu membalas terhadap
input pengguna dalam pola yang bererti atau untuk membenarkan objek itu
bertindak secara bebas. Istilah "tingkah laku" juga boleh digunakan
pada setakatnya untuk fungsi matematik bagi merujuk kepada anatomi keluk.
Dalam
bidang pemodelan alam sekitar pula dan khususnya dalam bidang hidrologi, model
tingkah laku ialah model yang cukup mirip dengan proses semula jadi tercerap,
misalnya model yang dapat menyelakukan kadar alir sungai tercerap dengan
memuaskan. Ia merupakan konsep utama untuk apa yang dipanggil sebagai
perkaedahan Penganggaran Ketakpastian Kebolehjadian Teritlak (GLUE) untuk
menyatakan ketakpastian ramalan persekitaran secara kuantitatif.
D.
APRESIASI
BUDAYA
Istilah apresiasi
berasal dari bahasa inggris "apresiation" yang berarti
penghargaan,penilaian,pengertian. Bentuk itu berasal dari kata kerja " ti
appreciate" yang berarti menghargai, menilai,mengerti dalam bahasa
indonesia menjadi mengapresiasi. Apresiasi budaya adalah kesanggupan untuk
menerima dan memberikan penghargaan, penilaian, pengertian terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kebudayaan
perlu diapresiasi dengan harapan kita sebagai manusia dapat memperlihatkan rasa
menghargai karya yang dihasilkan dari akal dan budi manusia. Apresiasi
diperlukan untuk tetap menjaga nilai-nilai budaya yang ada agar tetap hidup dan
selalu lestari, juga dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Melalui apresiasi,
seorang pencipta dapat memperoleh masukan, ide, saran, kritik, dan pujian untuk
karyanya. Melalui ide, saran, masukan, dan kritik tersebut jugalah para
pencipta diharapkan dapan membuat karya yang lebih baik lagi.
E.
Hubungan
antara Etika dengan Kebudayaan
Hubungan
antara Etika dengan Kebudayaan : Meta-ethical cultural relativism merupakan
cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan bahwa tidak ada kebenaran
moral yang absolut, kebenaran harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana
kita menjalankan kehidupan soSial kita karena setiap komunitas sosial mempunyai
cara pandang yang berbeda-beda terhadap kebenaran etika.
Etika
erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia
sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu
berhubungan dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap
kebudayaan. Etika mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan
dengan kebudayaan karena sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral
yang berbeda-beda tergantung budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan
kehidupan social apa yang kita jalani.
Baik
atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral
sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal
dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial
tersebut. Sebagai contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid
(membunuh anak) adalah tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika
dan negara lainnya tindakan ini merupakan suatu tindakan amoral.
Suatu
premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan “All moral principles
derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap
kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan
suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.
F.
Pengaruh
Etika Terhadap Budaya
Budaya organisasi banyak digunakan
pada organisasi perusahaan, bahkan ada juga perusahaan membuat papan nama
dengan tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka di tempat-tempat yang
menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor, atau di dekat tempat
para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi mulai berkembang sejak awal tahun 1980-an. Konsep budaya
organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada
disiplin ilmu antropologi, Sobirin (2007:128-129).
Budaya organisasi menurut Schein
dalam Sobirin (2007:132) adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh
sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran
pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola
asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara
yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam
kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
Budaya organisasi sangatlah penting untuk dipahami karena “budaya organisasi
dapat mempengaruhi cara orang dalam berprilaku dan harus menjadi patokan dalam
setiap program pengembangan organisasi dan kebijakan yang diambil. Hal ini
terkait dengan bagaimana budaya itu mempengaruhi organisasi dan bagaimana suatu
budaya itu dapat dikelola oleh organisasi,” Muhammad Baitul Alim (psikologi
zone.com).
Budaya perusahaan pada dasarnya
mewakili norma – norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi,
termasuk mereka yang berada dalam hierarki organisasi. Bagi organisasi yang masih
didominasi oleh pendiri, maka budayanya akan menjadi wahana untuk
mengkomunikasikan harapan - harapan pendiri kepada para pekerja lainnya.
Demikian pula jika perusahaan dikelola oleh seorang manajer senior otokratis
yang menerapkan gaya kepemimpinan top down. Disini budaya juga akanberperan
untuk mengkomunikasikan harapan – harapan manajer senior itu.
Isu dan kekuatan suatu budaya
memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya.
Budaya sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk
standar dan etika tinggi adalah budaya yang tinggi toleransinya terhadap risiko
tinggi, sedang, sampai rendah dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana
selain itu juga hasil.
Manajemen
dapat melakukan beberapa hal dalam menciptakan budaya yang lebih etis, yaitu:
-
Model peran yang visibel Karyawan akan
melihat sikap dan perilaku manajemen puncak (Top Manajemen) sebagai acuan /
landasan standar untuk menentukan perilaku dan tidakan - tindakan yang
semestinya diambil.
-
Komunikasi harapan etis Ambiguitas etika
dapat diminimalisir dengan menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik
organisasi.
-
Pelatihan etis Pelatihan etis digunakan
untuk memperkuat standar, tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang
diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.
G.
KENDALA
MEWUJUDKAN KINERJA BISNIS
Pencapaian
tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah dan
kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:
1. Standar
moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.
Banyak
di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika
bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang
kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.
2. Banyak
perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.
Konflik
kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang
dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak
dicapainya, atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik
bisnis yang dilakukan oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara
kepentingan perusahaan dengan kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang
teguh standar moralnya bisa jadi akan gagal karena mereka mengejar tujuan
dengan mengabaikan peraturan.
3. Situasi
politik dan ekonomi yang belum stabil.
Hal
ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit
politik, yang di satu sisi membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya
memberi kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan elit politik guna
keberhasilan usaha bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang
menimbulkan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan
tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya
penegakan hukum.
Banyak
orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan
tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk
memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5. Belum
ada organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik bisnis
dan manajemen.
Organisasi
seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara khusus
menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar