A.
BEBERAPA
ASPEK ETIKA BISNIS ISLAMI
Etika
sebagai perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang
salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan
pelaku bisnis, maka etika diperlukan dalam bisnis.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, Etika
bisnis adalah norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik
sebagai institusi atau organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan “stakeholders”nya.
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis
merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam
institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis.
Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka
prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik
dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas
implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan
etika bisnis secara umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan
mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara
bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam
bisnis.
Dengan demikian, bisnis dalam islam
memposisikan pengertian bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia
untuk mencari keridhaan Allah swt. Bisnis tidak bertujuan jangka pendek,
individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika,
tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab
pribadi dan sosial dihadap masyarakat, Negara dan Allah swt.
B.
TEORI
ETHICAL EGOISM
Teori
Ethical Egoism, Teori ini hanya melihat diri pelaku sendiri, yang mengajarkan
bahwa benar atau salah dari suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, diukur
dari apakah hal tersebut mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang
itu sendiri. Apa dampak perbuatan tersebut bagi orang lain, tidak relevan,
kecuali jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap
pelaku yang bersangkutan.
C. TEORI
RELATIVISME
Relativisme
berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif. Sejalan
dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan
manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat,
melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya. Sebagai paham dan
pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang
benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya
masyarakatnya. Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan
pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.
D. KONSEP
DEONTOLOGY
Deontology
Berasal dari bahasa yunani Deon yang berarti kewajiban/ Sesuatu yang
harus. Etika deontology ini lebih
menekankan pada kewajiban manusia untuk bertindak secara baik menurut teori ini
tindakan baik bukan berarti harus mndatangkan kebaikan namun berdasarkan baik
pada dirinya sendiri jikalau kita bisa katakana ini adalah mutlak harus
dikerjakan tanpa melihat berbagai sudut pandang. Konsep ini menyiratkan adanya perbedaan
kewajiban yang hadir bersamaan. Artinya ada sebuah persoalan yang kadang baik
dilihat dari satu sisi, namun juga terlihat buruk dari sudut pandang lain.
Menurut David MCnaughton, kebaikan dan keburukan tidak bisa dilihat semata-mata
berdasarkan nilai baik dan buruk, dua
hal ini dilihat dari konteks terjadinya perbuatan, bisa kita contohkan ada
sebuah kasus atau sebuah perbuatan, bisa saja perbuatan ini benar di mata
masyarakat umum atau benar berdasarkan konsep-konsep umum yang ada, namun pada
kenyataannya saat dilakukan terlihat buruk atau bahkan dampaknya negative.
E. PENGERTIAN
PROFESI
Profesi
adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess",
yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji
untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara
tetap/permanen".
Profesi
juga sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu
pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode
etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi
tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan,
militer,teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang
yang berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walau
demikian, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang
menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju
profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya,
sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
F. KODE
ETIK
Kode
etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu
kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial,
namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam
kategori norma hukum.
Kode
Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis
dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan
atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional
memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik
akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
G. PRINSIP
–PRINSIP ETIKA PROFESI
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya
dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan
dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan
dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua
profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya,
karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang,
juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia.
1. Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung
jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional
sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama,
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya.
Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari
dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan
standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang
terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan
dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat
mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan
profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan
profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung
jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain
khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya
itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus
bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti
kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan
kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya.
2. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan .
Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan
profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya
orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini
menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh
melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak
membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat
pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam
arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh
membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan
sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi
kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara
memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di
sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan
pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya
pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang
kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat
tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena
keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat)
tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.
3. Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini
lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia
luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya.
Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena,
hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh
ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini
terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus
menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh
mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar
kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan
inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu
dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional
harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk
membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika
profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa
campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional
tersebut.
Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya
juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen
profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta
(dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh
disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh
tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya
secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua,
otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat
pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada
waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak
sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak
sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang
otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak
dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak
dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi
berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak
pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini
hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan
kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun
kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan
adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang
misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh
lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Prinsip integritas moral. Berdasarkan
hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang
profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang
tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran
profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan
demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas
dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai
merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan
menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak
melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena
itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan
apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung
tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut
dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk
memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai
tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap
bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya
demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu
kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang
melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama
diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan, ia rela mati
hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata
lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian
yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya.
Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh
pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari
fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi
kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter
tersebut dalam melayani masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar